Tarif Impor AS Bikin Cemas, Pengusaha Minta Ini ke Pemerintah

9 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif timbal balik (reciprocal tariff) pada barang-barang dari berbagai negara yang ke AS. Tarif impor AS ini meliputi peralatan elektronik, makanan, kopi, minuman keras, pakaian, sepatu, kendaraan, hingga suku cadang, tetapi dikecualikan bagi farmasi, mineral penting, semikonduktor, dan lain-lain.

Tarif timbal balik atau tarif Donald Trump merupakan kebijakan AS berupa pengenaan bea ad valorem tambahan pada semua impor dari semua mitra dagang (berbagai negara), kecuali yang ditentukan lain.

Bea ad valorem sendiri adalah bea masuk atau pajak yang dikenakan pada impor, ditetapkan dalam bentuk persentase tetap dari nilainya, sebagaimana dikutip dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Glossary of Statistical Terms.

Pada tarif Trump, bea ad valorem tambahan pada semua impor dari semua mitra dagang adalah sebesar 10 persen. Besarannya bisa bertambah dan berbeda-beda per negara mitra pengekspor sesuai ketentuan AS. Indonesia sendiri dikenakan tarif Trump sebesar 32 persen.

Menanggapi hal tersebut, Institusi Perkapalan dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menyatakan kebijakan Amerika Serikat tersebut akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan industri maritim Indonesia, khususnya industri galangan kapal.

"Sebab, industri galangan kapal Indonesia masih membutuhkan dukungan kebijakan impor yang friendly terhadap bahan baku komponen maupun material kapal," kata Ketua Umum Iperindo Anita Puji Utami.

Dia menjelaskan sebagai asosiasi tempat tempat berkumpulnya pelaku industri kapal di Indonesia, pihaknya meminta perlindungan pasar terhadap kemungkinan gempuran barang- barang impor pasca diumumkannya kebijakan tarif bea masuk impor ke Amerika Serikat yang tinggi tersebut.

Cari Pasar Baru

Menurut dia, setelah adanya kebijakan tersebut, banyak negara di dunia yang akan mencari pasar baru selain Amerika Serikat. "Indonesia diyakini akan menjadi negara yang menarik karena populasi yang besar dan daya beli yang cukup kuat," katanya.

Iperindo juga meminta Pemerintah agar kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tetap dipertahankan, karena ekspor ke Amerika Serikat tidak ada kaitannya dengan aturan impor dan TKDN yang saat ini berlaku.

Pemerintah juga perlu merespon kebijakan tarif bea masuk tinggi Amerika Serikat tersebut dengan kebijakan sejenis. "Jangan terpancing pada isu Non-Tariff Barrier (NTB) atau Non-Tariff Measure (NTM)," tegasnya.

Iperindo juga mengusulkan kepada Pemerintah untuk menaikkan tarif bea masuk barang impor dari Amerika Serikat sebagai balasan sehingga produk dari negeri Paman Sam yang masuk ke Indonesia menjadi tidak kompetitif karena harganya akan jauh lebih mahal.

Ini Alasan Sebenarnya Trump Kenakan Pajak Impor Tinggi

Sebelumnya, di balik jargon “resiprokal” dan perlindungan industri dalam negeri, ternyata tarif impor tinggi ala Donald Trump punya alasan yang lebih sederhana dari kelihatannya bahkan terkesan sembrono. Indonesia termasuk salah satu negara yang kena getahnya.

Dikutip dari CNN Business, Minggu (6/4/2025), kebijakan tarif Trump bukan didasarkan pada analisis tarif aktual atau hambatan dagang nyata, melainkan semata karena defisit perdagangan.

Negara yang mengekspor lebih banyak ke AS dibanding mengimpor langsung dicap sebagai “masalah”. Rumus yang digunakan bahkan dikritik karena terlalu sederhana, yakni defisit dibagi ekspor, lalu dikalikan 1/2.

Padahal, menurut para ekonom, defisit perdagangan bukanlah masalah struktural yang otomatis merugikan. Justru cara Trump membaca data ekonomi dan memakainya sebagai dasar kebijakan menimbulkan risiko perang dagang global.

Indonesia sendiri meski tarif MFN-nya tak tinggi tetap masuk daftar target karena dianggap menyumbang pada “ketimpangan” neraca dagang versi Trump.

15 Negara Tertekan

Sebagian besar dari 15 negara dengan defisit perdagangan tertinggi terhadap AS mengalami tekanan dari tarif tinggi Trump. Termasuk di dalamnya Tiongkok, Vietnam, India, dan negara-negara Uni Eropa, termasuk Indonesia.

Ekonom Tak Sepakat dengan Logika Dagang Trump

Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas, mengatakan masalah utama yang diangkat oleh pemerintahan Trump sebenarnya lebih banyak terkait dengan hambatan non-tarif seperti subsidi industri, regulasi kebersihan, atau sistem birokrasi yang tidak transparan. Namun, para ekonom menilai bahwa pendekatan yang digunakan Trump tidak menyasar akar masalah secara langsung.

“Ini hanya upaya ad hoc untuk menghukum negara-negara dengan neraca dagang besar terhadap AS,” ujar Kepala ekonom di RSM Joe Brusuelas.

Padahal, menurutnya, neraca dagang lebih mencerminkan gaya konsumsi dan tabungan domestik AS ketimbang kebijakan perdagangan negara lain.

Dalam berbagai kesempatan, Trump menyebut defisit perdagangan sebagai krisis nasional yang mengancam pekerjaan dan pabrik dalam negeri.

Tapi tidak semua ahli sepakat. Profesor John Dove dari Troy University menyatakan, “Jika saya belanja di toko dan membayar dengan uang tunai, saya mengalami defisit dengan toko itu. Tapi apakah saya rugi? Tentu tidak," ujar Dove.

Defisit, kata para ekonom, hanyalah hasil dari dinamika pasar terbuka, bukan sesuatu yang otomatis buruk. Namun, Trump berargumen bahwa tarif bisa digunakan untuk mengoreksi defisit dan sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Read Entire Article
Bisnis | Football |