Liputan6.com, Jakarta - Stok beras di gudang BULOG telah menembus 4 juta ton hingga 29 Mei 2025. Dari jumlah itu, 2,4 juta ton di antaranya berasal dari serapan gabah/beras produksi domestik, dengan sisanya dari stok beras akhir tahun lalu yang sebagian besar berasal dari impor.
Jumlah 4 juta ton beras ini menjadi stok terbesar sepanjang sejarah BULOG berdiri. Pengamat Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Khudori memperkirakan stok beras BULOG akan bertambah karena pengadaan masih ditingkatkan hingga 3 juta ton.
Di sisi lain, Khudori juga melihat stok yang besar menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR) tidak mudah. PR ini muncul terutama karena pada dasarnya beras adalah barang yang tidak tahan lama.
"Idealnya beras hanya disimpan 4 bulan. Lebih dari 4 bulan beras harus dikeluarkan dari gudang untuk disalurkan. Agar beras tidak berpotensi turun mutu, bahkan rusak. Beras yang disimpan di gudang sebagai stok mati/stok statis memerlukan perawatan. Kian lama penyimpanan kian besar biaya perawatan. Ini akan membebani BULOG sebagai korporasi. Selain itu, terbuka risiko penyusutan volume dan turun mutu,” ungkap Khudori dalam keterangannya di Pondok Gede, Bekasi, dikutip Senin (2/6/2025).
PR lainnya adalah bagaimana menyalurkan beras dengan jumlah besar tersebut. Dengan stok 4 juta ton, menurut Khudori, berarti BULOG harus bisa menyalurkan 2,8 juta ton agar stok akhir tahun 2025 tersisa 1,2 juta ton.
"Karena waktu penyaluran tinggal 7 bulan berarti per bulan harus tersalur 400 ribu ton beras. Ini tidak mudah. Sepanjang sejarah BULOG penyaluran, untuk operasi pasar, bantuan dan lainnya, jarang bisa mencapai 400 ribu ton/bulan,” ia mencatat.
Kemarau Basah Beri Momentum pada Petani
Merujuk prediksi BMKG, Khudori menyoroti musim kemarau tahun ini akan datang terlambat. Meskipun memasuki musim kemarau, yang terjadi kemarau basah.
Artinya, meskipun kemarau masih akan ada hujan. Dia menilai, ini menjadi kabar baik bagi petani.
“Ketersediaan air di musim kemarau berpeluang tidak masalah. Produksi padi berkemungkinan lumintu dan baik hingga akhir tahun. Jika demikian, produksi berpeluang melimpah. Serapan beras operasi pasar mungkin seret,” kata dia.
Sementara usia beras di gudang BULOG terus bertambah. Ia mencatat, saat ini setidaknya ada ratusan ribu ton beras berusia 9-14 bulan dan puluhan ribu ton berusia lebih 14 bulan.
"Agar tidak turun mutu dan susut volume, bahkan rusak, beras itu perlu segera disalurkan. Karena penyaluran bulanan harus besar, sebaiknya pemerintah tidak hanya mengandalkan operasi pasar dan bantuan pangan beras yang sudah direncanakan,” jelas Khudori.
Bagaimana Tindak Lanjut Kebijakan Penyaluran Cadangan Beras?
Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan Inpres No. 6/2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri Serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah, 27 Maret 2025.
Di inpres itu outlet beras BULOG terbentang luas, mulai SPHP, bantuan pangan (termasuk bantuan pangan luar negeri), tanggap darurat bencana, untuk TNI/ASN/Polri dan program Makan Bergizi Gratis, dan CBP pemda. Bahkan untuk bansos.
"Agar bisa dieksekusi, regulasi ini perlu segera ditindaklanjuti lebih konkrit dalam bentuk aturan turunan oleh kementerian/lembaga. Regulasi turunan itu guna memastikan ada outlet beras BULOG dalam jumlah besar, setidaknya 2,8 juta ton. Penyaluran ini sekaligus untuk meredam, syukur-syukur bisa menurunkan, harga beras (medium dan premium) yang sudah berbulan-bulan nangkring di atas harga eceran tertinggi (HET),” imbuh Khudori.
Opsi Ekspor
Khudori lebih lanjut menyarakankan dibukanya opsi ekspor beras, seperti yang ramai diperbincangkan publik dalam beberapa hari terakhir.
Akan tetapi, menurut dia, opsi ekspor sebaiknya dilakukan setelah bisa dipastikan produksi dalam negeri aman untuk memenuhi konsumsi.
"Hal itu belum bisa dipastikan hari-hari ini. Perjalanan produksi 7 bulan menuju akhir tahun masih penuh dinamika. Ekspor atau tidak sebaiknya dilakukan di akhir September karena produksi sudah mencapai 80-85%," tutur dia.
"Yang perlu dipastikan jangan sampai penyaluran beras membuat harga gabah anjlok atau jatuh di bawah harga pembelian pemerintah: Rp6.500/kg gabah kering panen di petani apapun kualitasnya,” ia menambahkan.
Terakhir, Khudori menyarankan, pemerintah perlu mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan syarat kualitas pembelian gabah petani.
"Pembelian gabah tanpa syarat kualitas memang menolong petani, tapi membuka laku lancung yang tidak mendidik. Implikasinya, rafaksi harga gabah musti diberlakukan lagi. Lalu, harga pembelian beras di BULOG dikoreksi agar menarik, setidaknya Rp13.000/kg. Terakhir, HET beras harus disesuaikan. Gabah adalah input beras. Ketika harga gabah naik tidak masuk akal harga beras tidak disesuaikan,” jelas dia.