Liputan6.com, Jakarta Polemik pemecatan Imran Nahumarury dan Yeyen Tumena dari jajaran pelatih Malut United akhirnya menemui titik terang. Manajemen klub asal Maluku Utara itu buka suara dan menjelaskan duduk perkara yang memicu keputusan tegas tersebut.
Imran yang menjabat sebagai pelatih kepala dan Yeyen sebagai Direktur Teknik resmi didepak dari skuad berjuluk Laskar Kie Raha. Secara prestasi, mereka cukup sukses dengan membawa Malut United bersaing di papan atas BRI Liga 1 2024/2025.
Faktor itu membuat kabar pemecatan Imran dan Yeyen awalnya menjadi buah bibir publik sepak bola nasional. Apalagi, keduanya dikenal sebagai sosok yang punya reputasi dan pengalaman panjang di dunia sepak bola Tanah Air. Termasuk sebagai mantan pemain.
Namun, seperti dijelaskan Wakil Manajer Malut United, Asghar Saleh, keputusan itu tidak diambil secara gegabah. Tapi kami tidak bisa menutup mata atas berbagai praktik tidak pantas yang dilakukan keduanya," tegas Asghar dikutip dari Antara.
Dugaan Pemotongan Gaji dan 'Setoran' untuk Bermain
Asghar mengungkapkan bahwa pemecatan Imran dan Yeyen dilatarbelakangi oleh serangkaian pelanggaran serius yang telah berlangsung sejak keduanya masih memimpin tim di Liga 2. Pihak klub sempat memberi kesempatan, akan tetapi pelanggaran itu diulang.
"Kami kecewa berat. Ada pemain yang mengaku harus menyetor uang agar bisa bermain. Fee pemain juga diambil dan itu jelas melanggar," ungkap Asghar.
Menurut Asghar, manajemen Malut United punya bukti bahwa Imran dan Yeyen telah melakukan pemotongan gaji dan penarikan uang dari pemain. Bukan hanya pemain lokal, Asghar juga menyebut perlakuan itu terjadi pada pemain asing.
Pada kasus pemain lokal, Asghar menyebut jika hampir semua pemain lokal pernah dimintai uang agar bisa mendapat menit bermain bersama Malut United.
Imran Minta Maaf, Yeyen Masih Bungkam
Dalam kesempatan yang sama, Asghar juga menyampaikan bahwa Imran Nahumarury telah menyampaikan permintaan maaf pada klub lewat surat. Dalam surat tersebut, Imran mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya, serta tidak akan membuat klarifikasi sepihak di media.
“Kami menerima permintaan maaf itu dengan lapang dada dan berharap ini menjadi pelajaran pribadi bagi Imran,” kata Asghar.
Namun, berbeda dengan Imran, Yeyen Tumena hingga kini belum menunjukkan itikad serupa. Manajemen Malut United pun menyatakan siap menempuh jalur hukum jika tidak ada penyelesaian secara baik-baik.
“Kalau Yeyen tidak ada itikad baik, kami akan bawa ke jalur hukum. Ini bukan soal pribadi, tapi soal menjaga integritas klub dan dunia sepak bola Indonesia,” tegas Asghar.
Budaya Lama yang Terus Terulang
Pengamat sepak bola nasional, Akmal Marhali, menilai apa yang terjadi di Malut United hanyalah puncak dari gunung es. Menurutnya, praktik semacam ini sudah lama menjadi 'rahasia umum' dalam ekosistem sepak bola Indonesia.
"Kasus seperti ini bukan hal baru. Praktik meminta uang agar bisa bermain, atau pelatih dan personalia klub yang mengambil fee dari pemain, terjadi hampir di semua level: Liga 1, Liga 2, bahkan Liga 3, dan 4," ujar Akmal.
Akmal menjelaskan bahwa di luar mekanisme resmi yang mengatur fee agen pemain, banyak praktik di balik layar yang melibatkan gratifikasi atau "uang perantara" yang tidak memiliki dasar hukum.
"Kalau agen, itu sudah ada aturannya. Tapi kalau pelatih atau direktur teknik yang ikut mengambil bagian dari fee pemain, itu masuk ke ranah gratifikasi. Ini harus dibersihkan demi masa depan sepak bola yang sehat," pungkasnya.