Lazio dan AC Milan: Dua Raksasa, Satu Kehampaan

3 months ago 18

Liputan6.com, Jakarta Pekan terakhir Serie A 2024/2025 menjadi malam yang hampa bagi Lazio. Bermain di kandang sendiri, mereka tumbang 0-1 dari Lecce yang bermain dengan sepuluh orang sepanjang babak kedua. Kekalahan itu menjadi pukulan telak yang mengubur harapan tampil di kompetisi Eropa musim depan.

Gol tunggal Lassana Coulibaly menit 43 memastikan Lecce selamat dari degradasi, sedangkan posisi Lazio di klasemen akhir terlempar ke peringkat tujuh. Lazio sejatinya mengumpulkan 65 poin, sama dengan Fiorentina, tapi kalah head-to-head. Fiorentina menang dua kali atas Lazio musim ini—skor 2-1 di Florence dan 2-1 pula di Roma.

Senasib dengan Lazio, AC Milan juga mengalami nasib serupa. Rossoneri kalah di final Coppa Italia dan finis di peringkat delapan. Alhasil, dua tim besar Italia itu harus absen dari panggung Eropa musim depan, sebuah kemunduran yang mencolok.

Suasana Mencekam di Olimpico

Apa yang terjadi di Stadio Olimpico seusai peluit akhir menggambarkan kekecewaan mendalam suporter Lazio. Para pemain dihujani cacian dan diminta pergi ketimbang memberi penghormatan di bawah Curva Nord. Gestur itu menunjukkan retaknya hubungan antara tim dan tifosi.

Meski begitu, dua pemain senior, Mattia Zaccagni dan Pedro, tetap memilih bertahan di lapangan. Namun, keberanian mereka justru dibalas kritik pedas dari ultras. Ketegangan ini menandai betapa getirnya akhir musim bagi Biancocelesti.

Marco Baroni, pelatih Lazio, tak bisa menyembunyikan perasaannya. "Saya sangat merasa bersalah kepada para penggemar dan tim, karena mereka tidak pantas mengakhiri musim seperti ini," ucapnya kepada DAZN dan Sky Sport Italia. Emosi dan penyesalan mengiringi setiap katanya.

Lazio: Musim yang Gagal Diselamatkan

Lazio sempat berada di posisi keenam jelang laga terakhir. Harapan untuk menyalip Roma dan bahkan Juventus masih terbuka. Namun, kekalahan dari Lecce—yang bermain dengan 10 pemain—jadi penutup yang dramatis dan menyakitkan.

"Sayangnya, saya sudah mengingatkan mereka soal ini karena kesan terakhir adalah yang selalu diingat," ujar Baroni. "Saya melihat beberapa pemain yang pikirannya sudah libur duluan." Ungkapan ini seperti menyiratkan kegagalan mengendalikan ruang ganti di momen krusial.

Baroni pun menyesali performa tim di penghujung musim. "Tim ini berkembang sepanjang musim dan mulai punya identitas, tapi kami menghancurkannya dalam beberapa laga terakhir," katanya. Lazio bahkan tercatat tak pernah menang di kandang sejak 9 Februari.

Masa Depan Baroni yang Belum Jelas

Musim Lazio sejatinya dimulai dengan baik. Mereka memuncaki klasemen fase grup Liga Europa dan sempat bersaing ketat di papan atas Serie A. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, semuanya runtuh. Kini, Baroni pun dihantui ketidakpastian soal masa depannya di klub.

Lazio mengoleksi 42 poin di paruh pertama musim—angka yang menunjukkan konsistensi tinggi sebelum anjlok drastis. “Apa pun yang saya katakan sekarang akan terdengar seperti mencari-cari alasan dan saya tidak ingin melakukannya,” tegas Baroni.

Soal musim depan, Baroni menanggapi dengan hati-hati. “Babak pertama kami tadi sangat lambat. Kami bahkan seperti mencetak gol ke gawang sendiri karena kesalahan sendiri,” ujarnya. “Sekarang waktunya bertemu klub. Untuk saat ini, saya hanya merasakan sakit yang sangat mendalam karena kekalahan ini. Pekan depan, baru kita bisa duduk dan menganalisisnya bersama klub.”

Pekerjaan Rumah Lazio dan Milan

Lazio dan Milan kini menatap masa depan dengan banyak pekerjaan rumah. Dua klub besar yang gagal memenuhi ekspektasi, baik di Serie A maupun Coppa Italia.

Musim panas ini akan menjadi momen penting untuk mengevaluasi, merombak, dan merencanakan kebangkitan.

Ketika raksasa jatuh, tak cukup hanya dengan penyesalan. Butuh arah, nyali, dan komitmen untuk kembali berdiri tegak. Sebab, dalam sepak bola, nama besar saja tak lagi cukup tanpa hasil.

Read Entire Article
Bisnis | Football |