Tatanka Tua Mematikan: Nostalgia Ketajaman Dario Hubner di Era Pertahanan Tangguh Serie A

2 months ago 13

Liputan6.com, Jakarta Dario Hubner bukan pesepakbola glamor. Tak ada rekor transfer mewah, tak ada trofi besar, bahkan tak sekali pun mengenakan seragam timnas Italia. Namun, namanya abadi di ingatan para pecinta Serie A—bukan karena citra, tapi karena cerita.

Pada musim 2001/02, di usia 35 dan membela tim sekelas Piacenza, Hubner menjadi Capocannoniere—pencetak gol terbanyak Serie A—bersama David Trezeguet. Prestasi itu merupakan simbol dari kerja keras, ketekunan, dan penolakan untuk menyerah pada usia.

Julukannya, Tatanka (bison dalam bahasa Lakota), bukan sekadar nama panggilan. Ia benar-benar bison tua yang mengacak-acak pertahanan tangguh Serie A, membuktikan bahwa usia hanyalah angka jika insting gol tak pernah usang.

Awal Panjang Menuju Panggung Tertinggi

Dario Hubner lahir pada 20 April 1967 di Muggia. Ia memulai kariernya di level amatir bersama Pievigina, lalu meniti jalur lambat dari Serie C hingga akhirnya menembus kasta tertinggi Italia di usia kepala tiga. Perjalanannya panjang dan terjal, tapi tak sia-sia.

Di Fano dan Cesena, Hubner menunjukkan ketajamannya. Ia menjadi top skor Serie C dan B, masing-masing pada musim 1991/92 dan 1995/96. Namun, Serie A tetap terasa jauh. Baru ketika Brescia promosi pada 1997, Hubner akhirnya mencicipi atmosfer elite Italia.

Dario Hubner against Ronaldo, 1997/98. pic.twitter.com/8pK06WFH41

— 90s Football (@90sfootball) October 25, 2023

Debutnya di Serie A datang dalam laga melawan Inter Milan. Semua mata tertuju pada Ronaldo Nazario, bukan Hubner. Namun, di tengah gegap gempita, justru Hubner-lah yang mencetak gol pembuka pertandingan, mengingatkan bahwa cerita besar bisa datang dari kaki yang sederhana.

Bison Tua dan Si Codino di Kota Kecil

Hubner bertahan bersama Brescia saat mereka terdegradasi, lalu membawa tim itu promosi kembali ke Serie A. Namun, musim 2000/01-lah yang menjadi salah satu puncak emosionalnya. Ia bermain bersama sang maestro, Roberto Baggio, dan dikawal oleh Andrea Pirlo di lini tengah.

Banyak yang menilai Baggio dan Hubner sudah habis. Namun, keduanya justru membungkam semua kritik. Mereka mencetak 27 gol gabungan dan membawa Brescia finis di posisi ketujuh—terbaik sepanjang sejarah klub—serta mengamankan tiket ke Piala Intertoto.

Al di là del campanilismo, con il #fallimento del #Brescia se ne va un pezzetto della storia del calcio italiano. La corsa di #Mazzone, il lancio di #Pirlo per #Baggio, i gol di #Hubner, #Guardiola, #Hagi che lascia il #Real per Brescia. Un piccolo pezzo del nostro mondo antico. pic.twitter.com/fVzy7AQls3

— La Musa Azzurra (@lamusaazzurra00) June 6, 2025

Namun, semua yang indah memang tak bertahan lama. Setelah musim gemilang itu, Hubner sadar waktunya di Brescia sudah habis. Ia memberi jalan untuk talenta muda bernama Luca Toni. Tak ada perasaan pahit, hanya kesadaran dari seorang pejuang bahwa waktunya untuk berpindah arena.

Musim Epik di Piacenza

Musim berikutnya, Hubner bergabung dengan Piacenza. Tak banyak yang menyangka bahwa musim 2001/02 akan menjadi puncak kariernya. Namun, Tatanka membuktikan bahwa bison tua masih bisa berlari cepat dan mematikan di dalam kotak penalti.

Dengan 24 gol—enam di antaranya dari titik putih—Hubner menjadi Capocannoniere bersama David Trezeguet. Ia mengalahkan striker-striker top seperti Andiy Shevchenko, Christian Vieri, Alessandro Del Piero, dan Vincenzo Montella. Lebih hebatnya lagi, ia melakukannya bersama klub kecil yang nyaris terdegradasi.

Tanti auguri Dario #Hubner, capocannoniere @SerieA_TIM 2001/02 con la nostra maglia! pic.twitter.com/PNU4IqqXr8

— Piacenza Calcio (@PiacenzaCalcio) April 28, 2017

Prestasi itu membuat publik bersorak: panggil Hubner ke timnas! Namun, Giovanni Trapattoni bergeming. Komposisi lini depan Italia sudah penuh. Tak ada tempat untuk si bison. Bahkan ketika AC Milan mengundangnya untuk ikut tur, kebiasaannya merokok dan minum grappa membuat manajemen urung memberi kontrak.

Tak Bisa Berhenti Bermain

Hubner masih terus mencetak gol di usia-usia yang tak lagi muda. Ia kembali ke Piacenza dan mengemas 14 gol pada musim berikutnya. Setelah itu, ia berpetualang ke Perugia, Mantova, lalu ke klub-klub kecil dan amatir. Sepakbola terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja.

Ia akhirnya pensiun pada usia 44 tahun. Namanya tercatat sebagai satu dari hanya dua pemain yang pernah menjadi top skor di Serie C, B, dan A. Itu pencapaian langka dari seorang pemain yang terlambat bersinar, tapi tak pernah padam.

Kini, saat kita mengenang Dario Hubner, kita tak sedang bicara soal trofi atau reputasi. Kita sedang bicara tentang semangat, tentang kegigihan, dan tentang sebuah keyakinan bahwa tak ada kata terlambat untuk menjadi luar biasa. Karena bison tua pun bisa jadi raja hutan—asal punya insting dan keberanian.

Read Entire Article
Bisnis | Football |