Liputan6.com, Jakarta AC Milan memulai musim 2024/2025 dengan ambisi membara. Setelah finis sebagai runner-up Serie A musim lalu di bawah Stefano Pioli, ekspektasi publik meningkat—meskipun tak ada trofi yang berhasil dibawa pulang dari Coppa Italia dan Liga Europa.
Datangnya Paulo Fonseca sempat diharapkan menjadi titik balik. Namun, kepercayaan itu sirna lebih cepat dari yang diduga. Pada penghujung Desember, Fonseca didepak. Sang kompatriot dari Portugal, Sergio Conceicao, diangkat sebagai juru selamat.
Musim ini, Milan memang sedikit lebih baik secara pencapaian trofi dengan gelar Supercoppa Italiana. Mereka juga dominan dalam lima Derby della Madonnina. Namun, di balik semua itu, kegagalan lolos ke kompetisi Eropa menegaskan bahwa musim ini tetap musim yang gagal.
Performa AC Milan di Kompetisi Domestik: Euforia yang Singkat
Kedatangan Sergio Conceicao membawa gelombang semangat baru. Debutnya diwarnai kemenangan atas Juventus di semifinal Supercoppa Italiana, lalu disambung dengan kemenangan atas Inter Milan di final. Trofi juara pun jatuh ke tangan Rossoneri.
Performa impresif itu berlanjut ke Coppa Italia. Milan menyingkirkan AS Roma dan kembali menekuk Inter untuk mencapai final. Namun, trofi kedua gagal diraih setelah tumbang 0-1 dari Bologna—kekalahan yang menyakitkan karena membawa konsekuensi besar.
Coppa Italia sejatinya menjadi tiket paling realistis ke Liga Europa karena posisi di liga jauh dari harapan. Saat peluang itu sirna, mimpi tampil di Eropa pun menguap. Di Serie A, Milan terseok dan akhirnya finis di peringkat delapan.
Performa di Liga Champions: Pupus sebelum Fase Gugur
Di Liga Champions, Milan kembali mencicipi format baru fase liga. Namun, langkah mereka tersandung sejak awal. Dua kekalahan dari Liverpool dan Bayer Leverkusen membuka rangkaian hasil yang membuat tifosi gelisah.
Milan sempat bangkit. Lima kemenangan beruntun, termasuk kejutkan Real Madrid di Bernabeu, membawa mereka naik ke posisi menengah. Sayangnya, kekalahan terakhir dari Dinamo Zagreb membuat mereka finis di posisi ke-13, memaksa jalani play-off fase gugur.
Petaka datang di babak play-off. Melawan Feyenoord, Milan gagal mencetak keajaiban. Agregat 1-2 memastikan langkah mereka terhenti. Musim Eropa yang sempat menggugah akhirnya berakhir mengecewakan.
Para Pemain: Pulisic Cemerlang, Gimenez Redup
Christian Pulisic menjadi titik terang dalam musim penuh ketidakpastian ini. Winger asal Amerika Serikat mencetak 11 gol dan sembilan assist di Serie A, serta berkontribusi di Liga Champions dengan satu gol dan satu assist. Konsistensinya patut diapresiasi.
Lain cerita dengan Santiago Gimenez. Penyerang anyar yang didatangkan dari Feyenoord pada tengah musim sempat bersinar di awal, tapi meredup seiring waktu. Performa inkonsisten dan paceklik gol membuatnya kehilangan tempat di tim utama.
Momen paling pahit terjadi di laga kontra Roma. Selain kalah 1-3, Milan juga harus bermain tanpa Gimenez yang dikartu merah. Kekalahan itu memastikan Rossoneri gagal ke Eropa lewat jalur liga—penutup ironi yang getir.
Sergio Conceicao: Masa Depan yang Masih Tertutup Kabut
Sergio Conceicao memberi warna baru, tapi belum sepenuhnya menjawab kebutuhan Milan. Dalam 31 laga, dia mencatatkan 16 kemenangan, lima imbang, dan 10 kekalahan. Catatan produktivitas tim juga tak spektakuler: 50 gol, 36 kali kebobolan.
Inovasinya dengan sistem tiga bek sempat memberi asa. Namun, inkonsistensi, baik dalam taktik maupun performa pemain, menjadi batu sandungan. Milan tetap tak mampu mengunci tiket ke Eropa—sebuah pukulan telak bagi klub sekelas mereka.
Kini masa depan Conceicao jadi pertanyaan besar. Apakah Milan akan melanjutkan proyek ini, atau kembali menekan tombol reset? Yang jelas, musim 2024/2025 menjadi cermin bahwa perubahan belum tentu membawa perbaikan—dan Milan masih berusaha mencari jati diri mereka yang hilang.